Download Novel klasik Cina berjudul “Journey to the West” atau “Perjalanan ke Barat” secara turun temurun telah memukau khayalan para pembacanya di Asia Timur.
Kisah biksu saleh yang bepergian ke Barat untuk mengumpulkan tulisan Budha yang keramat, dan raja monyet yang melawan setan jahat sudah menjadi bagian dari berbagai legenda.
Tapi cerita ‘Journey to the West’ sebenarnya diilhami dari kisah nyata.
Koresponden kami, Clarence Chua berkelana ke Dunhuang, Cina untuk memisahkan bagian mana yang dari cerita ini yang merupakan fakta dan fiksi.
Setiap tahun oasis padang gurun Dunhuang menarik ribuan wisatwan ke Gua-gua Mogao dekat sana.
Dan inilah sebabnya.
“Ini adalah patung Budha berbaring yang paling besar di Cina meski ini nampaknya lebih mirip seorang nyonya kaya raya yang sedang beristirahat. Patung ini berasal dari Dinasti Tang, tapi nampaknya banyak bagian yang sudah ditambahkan dan dipulihkan selama Dinasti Ching.”
Pemandu tur kami memperkenalkan dirinya sebagai Nona Li.
“Di gua ini ada satu patung Budha yang sedang duduksetinggi 29 meter. Pembuatannya memakan waktu 30 tahun. Para pekerja hanya bisa menggali sedalam satu meter ke dalam bebatuan itu setiap tahunya. Patung ini dibangun pada Dinasti Tang, tapi sebagaian lukisannya sudah mendapat pengaruh Dinasti Song. Kadang gua dan dananya kurang banyak untuk dibuka dan dihias, jadi beberapa dinasti berbeda akan menambahkan atau memulihkan gua yang sudah ada.”
Gua-gua Mogao yang terletak di jalur sutera terdiri dari ratusan gua yang dihias oleh para kaisar, biksu dan keluarga kaya raya selama seribu tahun lebih sejak tahun 366 M pada masa kekuasaan Liang Utara.
Para pedagang dan pelancong yang memasuki Cina harus menghormati patung Budha dalam gua-gua ini demi perjalanan yang aman menuju ibukota.
Dan disinilah pada awal Dinasti Tang (618-704 AD) biksu Xuanzang kemungkinan singgah dan bermeditasi.
Novel “Journey to the West” yang ditulis oleh Wu Cheng’en pada abad ke-16 adalah salah satu dari empat novel klasik besar dalam kesustraan Cina.
Tokoh utama bernama Tangsen sebenarnya diilhami oleh kehidupa nyata Xuanzang yang berkelana selama 17 tahun untuk mengumpulkan tulisan Budha yang keramat dari India hingga kembali lagi ke Cina.
Gua-gua ini mencapai puncaknya selama Dinasti Tang, tapi lambat laun menurun ketika Islam menyebar di seantero Asia Tengah.
Tidak ada gua-gua baru di Dunhuang setelah Dinasti Mongol Yuang dan orang Cina mulai menjelajahi lautan pada masa Dinasti Ming.
Namun, pada tahun 1900 muncul ketertarikan baru pada gua-gua itu ketika pendeta Tao bernama Wang Yuanlu menemukan gua no. 17 atau yang lebih dikenal sebagai “Gua Perpustakaan”.
Seperti yang dijelaskan Li pemandu kami.
“Seluruh gua ini ditutupi dan diselimuti pasir. Ketika ia membersihkan pasir itu ia melihat satu retakan di dinding, lalu ia ketuk dan menemukan dinding itu kosong. Lalu Ia memutuskan untuk mendobraknya. Ada 50 ribu lebih naskah dan benda-benda prasejarah. Ia lalu memberitahu pengadilan setempat soal penemuannya ini, tapi malah mereka malah tidak perduli. Namun ini menarik banyak perhatian dari luar negeri.”
“Orang pertama yang datang adalah arkeolog bernama Aurel Stein yang mengeluarkan 20 ribu lebih benda-benda prasejarah itu. Lalu orang Perancis dan Jepang datang. Kini hanya sepuluh ribu atau lebih peninggalan sejarah yang tersisa di Cina, dan ini ditinggalkan orang lain. Naskah-naskah ini dikatakan ditulis dalam berbagai bahasa dari Sansekerta sampai Uyghur, dan berisi berbagai tema dari agama, pengobatan sampai politik.”
Setelah ekspedisi Jepang, orang Rusia datang dan akhirnya disusul dengan orang Amerika.
Cerita populer di sini menyangkut kedatangan seorang professor dari Universitas Harvard bernama Langdon Warner, yang menginspirasi sutradara Steven Spielberg untuk dijadikan sebagai tokoh utama film “Indiana Jones”.
Konon, ia mulai menghapus karya seni di dinding setelah gagal menemukan sesuatu yang berharga di sana.
Ia terpaksa berhenti setelah didatangi para warga desa yang berang.
Gua-gua Mogao kini sudah dipermak dan karena kian banyaknya wisatawan asing dan domestik yang berkunjung ke sana, sekarang hanya beberapa gua saja yang terbuka untuk umum.
Satu tempat yang tidak begitu terkenal adalah Gua Seribu Budha, yang terletak sekitar 25 kilometer dari Dunhuang.
Menurut pemandu kami bernama Fan, gua-gua ini kemungkinan sudah ada sejak zaman Gua Magao.
Dan karena nyaris tidak ada siapa-siapa yang pergi ke sini, kami mendapatkan tur pribadi.
“Dari sini ke Dunhuang membutuhkan waktu sehari perjalanan. Jadi gua ini pertma kali dibangun sebelum menyebar ke Dunhuang. Kalau Anda lihat lukisan Budha ini, ini berasal dari Dinasti Sui sementara yang disebelahnya dari Dinasti Tang karena nampak lebih rumit. Pengaturan warna dan penampilannya berbeda sekali dengan beberapa dinasti yang berbeda.”
Saya bukan ahli sejarah seni tapi sebagian gua ini nampak serupa dengan kesenian Ethiopia dan Kristen Koptik.
Saya menanyakan Fan apa hubungan diantara keduanya.
“Lukisan-lukisan ini masuk ke dalam Dinasti Wei Utara. Pada masa itu nuansa etnis minoritas lebih kental, seperti era Xianbei atau Tuoba. Pada masa itu, daerah ini dikuasi oleh etnis-etnis minoritas ini. Seperti kesenian ini dari masa Xia. Meski terjadi konflik pada waktu itu, mereka menghormati kesenian Budha karena mereka juga umat Budha jadi ini teruks berkembang”.
Perjalanan Xuangzang ke India mengilhami novel klasik “Journey to the West” tapi bagaimana dengan sang Raja Monyet, Su Wukong. Dari mana asalnya?
Beberapa orang bahkan memperkirakan, ia adalah reinkarnsi dewa Hindu Hanuman.
Berdasarkan isi naskah yang ditemukan di Gua Mogao, kemungkinan besar Xuangzang, tidak hanya menyebarkan agama Budha, tapi juga beberapa gagasan dari dunia lain yang turut membentuk Cina.