AsiaCalling

Home Berita Timor Leste Geng Timor Leste Bagaikan ‘Bom yang Hampir Meledak’

Geng Timor Leste Bagaikan ‘Bom yang Hampir Meledak’

E-mail Cetak PDF

Download Kampanye yang gemuruh dan meriah memadati jalanan ibukota Timor Leste, Dili, selagi negeri itu bersiap-siap untuk menggelar pemilu presiden.

Pemilu pertama yang digelar di negeri itu pada 2006 diwarnai dengan kekerasan politik, dan pemilu pemilu tahun ini akan menjadi ujian penting bagi kestabilan politik di negara yang baru dan miskin tersebut. 

Dengan tingkat pengangguran yang tinggi, pendidikan yang rendah serta ribuan orang Timor yang bergabung dengan geng bela diri, para analis mengatakan, kelompok-kelompok ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Kate Lamb menginvestigasi lebih lanjut dari  Dili.


Pemilu presiden Timor Leste segera digelar, dan saya sedang berada di tengah-tengah rapat akbar salah satu kandidat presiden paling populer, Lu Olo Gutteres dari Partai Fretilin.

Hampir separuh warga Dili berkumpul di sekeliling panggung sambil melambaikan bendera. Mereka naik ke atas dahan-dahan pohon, untuk bisa melihat Lu Olo lebih jelas. Sementara itu para pengemudi truk bak terbuka membunyikan klakson mereka.

Suasananya sungguh ramai.

Deonisio da Silva Marques yang berusia 23 tahun adalah salah satu warga yang ikut dalam rapat akbar itu. Ia mengatakan sudah saatnya negeri itu melangkah ke depan, menjauhi masa lalunya yang sangat erat dengan militer.

“Menurut saya, partai politik yang mana saja bisa menang, tapi yang penting adalah mendidik berbagai geng supaya keadaan bisa aman. Pemimpin manapun harus menyatukan rakyat Timor sebagai satu bangsa, dan bukan hanya melayani kebutuhan milisi tertentu. Inilah salah satu akar dari perpecahan, dan semakin menyulitkan upaya untuk mewujudkan perdamaian.” 

Indonesia menjajah Timor Leste pada tahun 1975 dan secara brutal menduduki negeri itu selama 24 tahun. 

Timor Leste merdeka tahun 2002, tapi kini muncul berbagai kelompok bersenjata dan geng, berkembang dari kelompok bawah tanah yang dulunya berjuang untuk melindungi warga selama masa pendudukan.

Cillian Nolan adalah analis dari  Kelompok Krisis Internasional.

“Menurut saya salah satu warisan sejarah perjuangan perlawanan di Timor Leste adalah kekuatan yang dimiliki berbagai kelompok. Itulah yang nampak dari kelompok-kelompok bela diri yang ada sekarang ini. Salah satu ketuanya di Comoro mengatakan pada saya, betapa pentingnya warisan sejarah pada generasi muda saat ini. Bahwa perlawanan sangat penting bagi Timor Leste untuk memperoleh kemerdekaan. Dan bagaimana orang muda saat ini mencari sesuatu untuk diperjuangkan, sejauh mereka siap mati untuk sesuatu.”

Lebih dari 20 ribu dari 1,1 juta penduduk Timor Leste adalah anggota geng bela diri. Kini, mereka tidak lagi melawan pasukan keamanan Indonesia, tapi saling berkelahi satu sama lain.

Empat tahun lalu, bekas orang militer dan pemimpin geng berupaya membunuh presiden Jose Ramos Horta. Sementara pada Pemilu tahun 2006, negeri itu dilanda kekerasan politik yang dipimpin oleh geng-geng tersebut. 

Akibat serangan itu, enam ribu rumah rusak dan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Dr Daniel Murphy adalah kepala klinik yang memberikan obat-obatan gratis dan mengobati banyak korban kekerasan geng.

“Tahun 2006 termasuk tahun yang buruk, dan orang-orang yang terlibat kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok bela diri. Banyak orang tidak berani pergi ke rumah sakit umum atau nasional karena didominasi oleh berbagai kelompok etnis, dan rumah sakit itu tidak aman. Tempat ini dianggap tempat yang aman bagi siapapun. Ada sekitar seribu pengungsi di klinik kami. Sejauh ini kami melihat ratusan panah beracun. Tidak ada yang tahu siapa yang duluan memprovoaksi dan siapa yang mereka provokasi. Sekarang orang berlomba-lomba jadi presiden dan nampaknya sudah melupakan hal itu. Tapi kejadian ini belum begitu lama, orang-orang masih memikirkan apa yang terjadi waktu itu.”

Dan setelah pembunuhan salah satu warga desa di pinggiran Dili pada Desember tahun lalu, pemerintah melarang segala macam kegiatan bela diri selama setahun.

Tapi Cillian Nolan dari International Crisis Group mengatakan peraturan itu tidak efektif karena banyak geng memiliki hubungan yang kuat dengan polisi dan partai politik.

“Kadang polisi enggan untuk menyelidiki sepenuhnya kejahatan terhadap anggota lain dari kelompok-kelompok bela diri. Dimana polisi sendiri mungkin menjadi bagian dari itu atau terlibat didalamnya. Saya pikir ada banyak hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan independensi dan ketidakberpihakan polisi untuk memastikan kejahatan-kejahatan ini dituntut.”

Nelson Belo, kepala sebuah LSM lokal, bernama Fundahasmein yang fokus pada isu keamanan dan pertahanan.

Dia mengatakan impunitas bagi serangan kekerasan yang dilakukan kelompok seni bela diri, bukanlah satu-satunya 'bom waktu' bagi keamanan politik Timor Timur.

“Ini bukan soal kelompok bela diri itu sendiri, tapi juga soal pengangguran. Saat ini, ada larangan pemerintah, tapi ketika penangguhan satu tahun ini berakhir, ketika mereka aktif kembali, mereka akan terlibat dalam masalah-masalah baru lagi. Sehingga ini akan terus berulang.”

Hampir separuh orang Timor hidup di bawah garis kemiskinan dan 20 persen pengangguran.

Nelson Belo mengatakan lingkungan ini mengarahkan kaum muda merasa terpinggirkan dan mereka lantas ditarik ke kelompok-kelompok seni bela diri.

Terlihat banyak pemuda Dili bergabung dengan kampanye politik yang aktif di ibukota sebelum pemilihan berlangsung.

“Saya tidak suka melihat rombongan kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bagi saya itu provokatif. Apa itu berarti Anda akan mendapatkan banyak suara? Apa Anda harus melakukan hal itu? Apa ini bagian dari kampanye? Menurut saya tidak. Tapi itulah yang kami lihat hari ini dan kampanye ini masih akan berjalan sepanjang minggu yang tersisa. Tidak sulit kok untuk memprovokasi orang. Ada begitu banyak anak muda dengan banyak hormon dan energi, yang tidak punya kegiatan dan tempat untuk menyalurkan pemikiran mereka.”

17 Maret adalah pemilu presiden kedua sejak negara itu resmi menjadi negara merdeka pada 2002.

Dalam beberapa tahun terakhir, Timor Leste sudah melalui perjalanan panjang untuk menstabilkan negara. Namun, negeri yang miskin tapi kaya dengan minyak ini, masih menghadapi tantangan pembangunan yang besar di masa mendatang.

Kembali ke rapat akbar, Deonisio da Silva Marques, 23 tahun, mengatakan pada saya, ia baru lulus dari jurusan bisnis, tapi masih belum mendapatkan pekerjaan.

“Para pemimpin harus lebih memperhatikan semua kelompok di setiap desa dan menciptakan lapangan kerja. Kalau semua orang sudah bekerja, maka tidak akan ada lagi konflik karena setiap orang akan sibuk mengurus pekerjaannya. Kalau masih belum ada pekerjaan, tidak ada perubahan, dan masih ada pengangguran. Anak-anak muda di berbagai desa hanya akan saling memancing emosi karena tidak punya pekerjaan. Jadi calon presiden  manapun yang ingin menjadi presiden negeri ini, harus menyatukan semua militan demi kebaikan Timor Leste.”

Terakhir Diperbaharui ( Senin, 19 Maret 2012 10:21 )  

Add comment


Security code
Refresh

Search