AsiaCalling

Home Berita Indonesia Polisi Bakau Indonesia

Polisi Bakau Indonesia

E-mail Cetak PDF

Download Indonesia memiliki seperempat hutan mangrove di dunia, tapi laju kerusakan bakau sampai enam persen setiap tahunnya.

Pemerintah bahkan menyatakan kerusakan hutan bakau sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Dengan kerusakan yang mencapai 70 persen, sangatlah penting untuk melestarikan hutan yang tersisa dan menanam lebih banyak pohon bakau.

Seperti yang dilaporkan Rumondang Nainggolan, ada satu desa di Brebes,  Jawa Tengah yang menemukan cara unik untuk melindungi hutan bakau mereka.

Romli berusia 60 tahun tapi ini tidak menghalanginya untuk melakukan pekerjaannya yang baru.

“Saya melakukan sebagai satgas Jaga Segara tanpa upah, saya demi keamanan atau demi keselamatan desa saya, desa Pandansari. Jangan sampe kena abrasilah gitu.”

Romli adalah anggota Satuan Tugas Jaga Segara alias polisi bakau di Dusun Pandansari, Brebes, Jawa Tengah. Mereka berpatroli setiap hari.

Mereka adalah warga lokal yang ditugaskan untuk melindungi hutan bakau desa mereka, kata Rusjan Ketua Kelompok Masyarakat Mangrove Sari.

“Kita bagi dalam enam kelompok mbak, enam tim. Jadi dibagi, satu tim enam orang. Kita melakukan kegiatan rutin pengawasan pantai dari orang-orang yang usil menebang, kadang menebang ada juga lewat darat kemudian patroli di laut juga ada. Jadi karena kami punya tiga perahu untuk patroli ya alhamdullilah setiap saat ada laporan mendadak dari pihak masyarakat ada penebangan liar, ada pencurian kayu ya sekaligus juga ada informasi sekarang jamannya hp, cepat.”

Mereka juga memberlakukan peraturan yang ketat bagi semua warga desa.

Kalau ada yang ketahuan menebang bakau, mereka akan kena denda hingga sekitar Rp 10 juta atau dimasukkan penjara selama dua tahun.

Tapi kalau sangat membutuhkan kayu, mereka boleh menebang pohon asal menanam 20 pohon sebagai pengganti.

Menurut warga setempat, hingga tahun 1980-an, Pandansari dikenal sebagai daerah yang subur dan makmur.

Desa tersebut dipuji dan diberi penghargaan atas hutan bakau mereka yang lebat.

Tapi semuanya berubah setelah gelombang laut besar menghantam daerah itu.  

Kini desa rusak karena terkena dampak abrasi dan genangan air laut.

Para petani seperti Supardi kehilangan mata pencaharian mereka.

“Jadi secara otomatis kalau pantainya mendekat ke pertanian, itu nanti akan terintrupsi air laut mbak, jadi tanahnya akan asin dan tidak bisa ditanami bawang, gitu. Kesejahteraan masyakat di sini drastis mbak turunnya, jadi gak bisa melanjutkan ke SMA, biayanya itu mahal terus mata pencaharian hilang. Jadi memang abrasi dampaknya ke masyarakat memang sangat besar sekali"

Sebagian hutan bakau ditebang untuk tambak udang windu – yang laku di pasar dengan harga tinggi kata bekas Kepala Desa Rusjan.

“Setelah udang windunya tidak sehat lagi, sudah tidak ramah lingkungan lagi karena banyaknya pencemaran sehingga tidak bertumbuh dengan baik, tau tau semakin ke sana rob itu semakin besar, semakin tahun rob itu debitnya semakin tinggi mbak. Lambat laun tambak-tambak yang dulunya bisa tertahan oleh mangrove karena mangrovenya sudah berkurang tadi dibuka untuk lahan tambak sehingga mudah rusak.”

Dalam 20 tahun terakhir, hampir 1000 hektar tanah desa itu rusak parah terkena dampak abrasi.

Pada 2009, warga setempat membentuk polisi bakau untuk melindungi hutan-hutan yang tersisa – sekaligus menyelamatkan mata pencaharian mereka.

Tapi ini tak gampang mengubah cara pandang orang tentang bakau, kata Rusjan.

“Masyarakat tadinya itu was-was mbak, tadinya ragu-ragu karena ini merupakan kejadian alam mbak. Artinya yang namanya kejadian alamkan jangankan manusia, jadi bayangan masyarakat itu 'masak sih abrasi yang sebesar ini hampir masuk ke kampung cukup hanya dengan menanam mangrove yang pertumbuhannya itu sangat lambat'. Mangrove itu usia lima tahun saja paling hanya sekitar 2-3 meter mbak, jadi bayangan masyarakat seperti itu, jadi kurang yakinlah. Mintanya masyarakat kalau pemerintah mau membantu, mau peduli dengan kami ya mestinya dibuatkan alat pemecah ombak.”

Pada  2011,  Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta menetapkan Brebes sebagai daerah sabuk hijau.  

Secara simbolik ditanam 80 ribu bibit pohon bakau di salah satu desa.

Dearah ini terpilih karena memiliki tambak ikan terbesar di Jawa Tengah dan populasi petaninya paling padat.

Kini sekitar satu juta pohon bakau sudah ditanam di berbagai daerah yang kena dampak abrasi.

Polisi bakau bernama Trisno Dinoto mengatakan, perubahan ini cukup mengesankan.

“Di sini itu desanya aja kalau musim air pasang bisa selutut, masuk aspal. Di jalan aspalnya saja sudah selutut. Tapi sekarang alhamdullilah sudah adalah empat tahunan di sini, udah mendingan, belum pernah lihat air langsung masuk ke desa.”

Polisi bakau juga  membantu melindungi hutan dari para pencuri.

“Mangrove sudah rusak tetapi masyarakat nelayan desa sekitar, desa tetangga tidak peduli dengan kerusakan dan tidak peduli dengan masalah kami. Jadi begitu nelayan melaut dia kosong, gak dapat tangkapan, dia pulangnya gergaji kayu, ngambilin kayu. Mengapa demikian? karena kayu bakau itu panasnya luar biasa, bisa dibikin arang untuk menyetrika, bakar sate, dijual diumumpun satu meter kubik 300 ribu. Jadi kalau nelayan pulang udah dapat dua kubikpun ya dapat Rp 600 ribu, itukan kemungkinan lumayan.”

Rusjan menuturkan, kini masyarakat sudah semakin sadar kalau di masa mendatang desa bakal memperoleh manfaat dari hutan bakau.

“Jadi masyarakat yang mau menebangpun sudah permisi mbak sama kami. Jangankan masyarakat yang nyata-nyata memang membeli kayu yang hasil itu yang sudah pada roboh. Masyarakat yang punya sendiri, milik sendiri, tambaknya sendiri mau nebang membutuhkan itu permisi mbak, 'mohon maaf Pak saya membutuhkan bakau tiga batang untuk kepentingan ini', 'ya udah monggo tapi jenengan tetap nanam'. Jadi sekarang masyarakat sudah latah tetap serba permisi.”

Terakhir Diperbaharui ( Sabtu, 02 Februari 2013 14:07 )  

Add comment


Security code
Refresh