AsiaCalling

Home Berita Timor Leste Saksi Bisu Penjajahan Indonesia di Timor Leste

Saksi Bisu Penjajahan Indonesia di Timor Leste

E-mail Cetak PDF

Download Selama 24 tahun penjajahan Indonesia di wilayah tetangga Timor Timur, Penjara Balide adalah tempat yang sangat menyeramkan.

Dibangun pada 1963 selama masa penjajahan Portugis, tempat ini digunakan militer Indonesia sebagai penjara bagi tahanan politik yang berani mendukung gerakan pembebasan.

Ribuan orang ditahan di sini.

Sekarang bangunan menyeramkan ini adalah museum yang mengajarkan pada generasi muda Timor Leste tentang sejarah kelam negara mereka.

Citra Prastuti mengajak Anda masuk ke dalam museum.

Eugenia Lopes, 25 tahun, mengajak saya ke satu-satunya bagian penjara yang tak pernah direnovasi sejak masa Portugis.

Di sini ada delapan sel yang kecil dan gelap dengan langit-langit yang tinggi.

“Ini tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga untuk perempuan. Menurut sejarah, siapa pun yang ingin merdeka dari Indonesia, akan dibawa ke sini dan disiksa di dalam penjara. Mari kita masuk....Para tahanan akan dibawa ke dalam sel, sekitar 20-30 orang masuk ke sini. Di pagi hari bisa ada 30 orang di sini, tapi kalau sudah sore, jumlahnya akan berkurang dan tidak ada yang tahu nasib para tahanan itu.”

Eugenia masih kecil ketika Indonesia menjajah Timor Timur.

“Pertama saya masuk ke sini, saya rasa sedih. Takut. Ada rasa dengki sama orang Indonesia, kenapa mereka sampai buat begini sama orang Timor? Tapi mungkin karena ada politik.”

Para tahanan yang dibawa ke penjara ini mendapatkan satu pertanyaan: apakah kamu pilih Indonesia atau Timor Timur?

Jawaban “Timor Timur” atau “merdeka” akan berujung pada siksaan.

Para tahanan hanya diberikan satu sendok kecil makanan setiap hari dan air dalam jumlah terbatas.

Setiap sel hanya memiliki satu lubang udara yang kecil.

“Tentara Indonesia mengawasi tahanan lewat lubang kecil di pintu ini. Keluarga tahanan kadang datang berkunjung. Tentara tidak mengizinkan tahanan keluar atau pengunjung masuk ke sini, jadi mereka hanya berbincang lewat lubang ini.”

Dan ini lubang yang sangat kecil...

“Mereka hanya bisa melihat mata. Begitu sejarahnya.”

Di salah satu pojok sel gelap, ada foto berukuran sangat besar. Ini foto seorang perempuan yang telanjang dalam kondisi terbaring, tubuhnya dipenuhi bercak darah. Lengannya diinjak kaki bersepatu tentara.

Foto ini diperkirakan diambil oleh tentara Indonesia, memperlihatkan perempuan yang konon diperkosa beramai-ramai sebelum dilempar ke dinding, dan dibunuh, persis di tempat foto ini tergantung.

Salah satu sel digunakan sebagai tempat penyiksaan.

“Air kotor keluar dari sana, lalu mereka tambah air lagi sampai penuh, macam ini bak. Lalu mereka kasih masuk para tahanan ke sini, sampai 1-2 minggu di sini. Lalu ada kabel di dinding, ini dipakai tentara Indonesia untuk menyetrum tahanan.”

Pada pintu besi di sel siksaan tersebut ada gambar salib, digambar dengan kapur oleh salah satu tahanan.

Di sebelahnya ada tulisan: ‘jangan lupa doa’.

Di sini juga ada papan yang berisi nama-nama tahanan, sejauh ini ada 450 nama. Keluarga yang datang diminta untuk menambahkan nama-nama kerabat mereka yang pernah dipenjara di sini.

Komisi pencari fakta yang dibentuk setelah kemerdekaan Timor Leste menemukan sedikitnya 100 ribu orang Timor yang tewas akibat 24 tahun penjajahan Indonesia yang berakhir pada 1999.

Di salah satu ruangan museum, aktivis hak asasi manusia Indonesia, Yeni Rosa Damayanti, berbicara di sebuah rekaman video.

“Ke manakah rakyat Indonesia saat rakyat Timor Timur menderita? Di manakah kami saat itu? Jawabannya adalah kami tidak tahu. Kami tidak tahu apa yang terjadi di sini. Tidak ada informasi yang masuk kepada rakyat Indonesia mengenai penderitaan yang dialami oleh rakyat Timor Leste.”

Media di Indonesia sangat dikendalikan oleh Jendral Suharto, Presiden Indonesia saat itu yang memerintahkan penyerangan ke Timor Timur.

Di salah satu ruangan Penjara Balide, terpasang papan hitam besar.

Para pengunjung didorong untuk menulis pesan.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Timor Leste memilih untuk tidak menuntut keadilan atau kompensasi dari Indonesia untuk kekerasan yang terjadi selama masa penjajahan.

Mereka memilih pendekatan rekonsiliasi yang diklaim bisa membantu negara baru itu untuk maju dan membangun ekonomi mereka yang terpuruk.

Pemandu tur museum penjara Eugenia mengatakan, banyak pengunjung yang bingung soal ini.

“Mereka akan tanya banyak hal. Kadang anak-anak bertanya, siapa tahanan politik yang ada di sini? Kenapa mereka disiksa? Apa yang mereka lakukan? Anak-anak, terutama pelajar akan bertanya...apa yang... maksud saya, militer Indonesia sudah melakukan kejahatan yang sangat serius di Timor Leste, tapi apa hukuman bagi mereka? Itu yang selalu mereka tanyakan.”

Sebuah pengadilan hak asasi manusia ad hoc dibentuk oleh Indonesia dan PBB di Timor Leste, sudah mengadili 18 orang dengan dugaan melakukan kejahatan pada 1999.

Semuanya dibebaskan.

Gilberto Paulo adalah polisi Timor yang sedang mengunjungi museum bersama teman-temannya. Dia setuju dengan pemerintah, ini saatnya untuk bergerak maju.

“Kalau saya sendiri tidak benci, mungkin karena rezimnya saja yang membuat kita jadi begini. Jadi untuk apa kita membenci hal-hal yang sudah berlalu. Itu kita jadikan acuan untuk hilangkan hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimana kita ciptakan relasi yang lebih bagus lagi ke depannya. Saya sebagai manusia tidak mau dendam yang berlebihan. Tuhan aja pemaaf apalagi manusianya...”

Pameran di museum penjara ini disebut ‘Chega!’.

Pemandu saya Eugenia menjelaskan apa artinya.

“Chega artinya stop, tidak lagi, cukup. Ini adalah pesan utama dari para tahanan politik yang pernah ditahan di sini. Menurut mereka, semua pelanggaran dan konflik yang terjadi di masa lalu, jangan sampai terjadi lagi di generasi berikutnya.”

Terakhir Diperbaharui ( Senin, 06 Februari 2012 10:40 )  

Add comment


Security code
Refresh

Search